(Elisabeth Devi Yanti Sidabutar)
Hari
Minggu... Hari dimana aku bisa merasakan ketenangan. Hari dimana aku bebas
tanpa aturan yang mengekang. Pagi itu, pagi yang selalu aku tunggu-tunggu. Pagi
dimana matahari tersenyum riang, pepohonan menari-nari sembari angin
bersahut-sahutan. Kelopak mata perlahan memekar. Pupil menguncup malu melihat sang
mentari tersenyum.
“Uaahh..... (menguap). Udah jam berapa
ini, Bel?” kataku malas.
“Jam 06.45, Bet. Mandilah! Bentar lagi
apel, apalagi air di bak mandi sudah hampir habis.” jawabnya panik.
“Ehe... Inilah kehidupan di asrama, butuh
kecepatan untuk berlomba dalam segala hal termasuk dalam hal kebutuhan air.
Kalau telat sedikit saja, pasti air habis.” desahku.
“Hehehe... Iya.” balasnya sambil tersenyum.
Dengan kecepatan penuh, 5 menit pun waktu
yang kuhabiskan tuk mandi. Tak lama, sangkakala pertanda apel makan pagi pun
berbunyi. Aku pun berlari secepat kilat agar tidak telat karena bagi siswa/i
yang telat apel akan mendapatkan sanksi yaitu dengan mengambil jatah 50 kali
push-up. Setelah piket yang bertugas untuk mengecek kehadiran siswa/i selesai,
siswa/i pun diperintahkan untuk memasuki aula makan dengan tertib dan teratur.
***
“Selamat makan.......!” teriak siswa/i
pertanda makan pagi pun dimulai.
Piket mencoba untuk memutar lagu-lagu pop
ataupun rohani untuk mensyahduhkan dan menghidupkan suasana agar siswa/i tidak
terlalu tegang untuk melaksanakan makan pagi. Lagu “Selamat Pagi Bapa” yang
dinyanyikan oleh Nikita pun berbunyi. 15 menit pun berlalu, piket segera
mematikan pemutar lagu pertanda makan selesai akan diakhiri.
“Waktu makan pagi telah selesai, siswa/i
menghentikan kegiatannya. Seluruhnya harap menghabiskan makanan yang ada di
dalam mulutnya. Perhatian seluruhnya. Duduk siap grak!” teriak piket dengan
lantang.
Suasana di dalam aula pun menghening
dalam seketika. Wakil piket pun bergegas laporan kepada ketua senat bahwa makan
pagi telah dilaksanakan. Ketua senat pun memberikan beberapa perhatian kepada
seluruh siswa.
“Perhatian kepada seluruh siswa/i kelas 2
dan 3. Pada hari ini batas pesiar sampai pukul 15.00, dan kepada seluruh
siswa/i kelas 1 untuk batas pesiar sampai pukul 13.00 dan wajib makan di
asrama. Perhatian selesai. Perhatian seluruhnya, duduk siap grak! Pimpin doa
siswa Reinhadrt Dachi.” Kata senat dengan tegas.
Doa pun dimulai. Kring....kring.... Bel
berbunyi pertanda doa selesai.
“Terimakasih,” teriak siswa/I pertanda makan
pagi telah usai.
Dalam waktu 3 menit, aula pun kosong. Dan
siswa/i bergegas untuk mencatat nama untuk pesiar. Waktu dimana kmai diberi
kesempatan untuk keluar asrama untuk menikmati dunia luar dengan bebas tidak
terbengkalai juga aturan yang mengikat agar mengontrol seluruh kegiatan kami.
***
“Aku gereja bareng kamu ya, Rani. Nanti
setelah pulang gereja, kita langsung belajar. Kan kita besok menghadapi UTS (Ujian
Tengah Semester). Biar kita gak remed. Yaya?” bujukku.
“Iya...iya bet. Bergegaslah, kutunggu di kamar ya? Cepat
kamu. Biar kita gak telat ke gereja, kan malu kalau kita telat.” Jawabnya
mengiyakan.
Aku pun selesai, kudatangi kamar Rani
untuk berangkat ke gereja berdua. 2 jam pun berlalu. Tepat pukul 10.00, kami
pun bergegas keluar gereja. Kami melangkahkan kedua kaki kami menuju Toko
Imanuel untuk membeli perlengkapan untuk satu minggu ke depan beserta beberapa
bungkus roti untuk menemani kami belajar. Bergegas kami meninggalkan toko itu
dan melanjutkan langkah kaki kami menuju asrama. Gerbang itu yang selalu
menanti kedatangan siswa/i untuk memulai peperangan menanti kesuksesan. Kami
langkahkan kedua kaki kami memasuki gerbang itu. Tak seperti biasanya. Gelisah….
”Kenapa
ini yah? Aneh sekali! Tak seperti biasanya. Sesak sekali dada ini. Takut? Tak
tahu apa yang kurasakan. Tuhan.... Semoga tak terjadi hal-hal aneh nantinya.
Kuharap, ini hari terbaik dari-Mu untukku.”
Kataku dalam hati.
Kubuka pintu kamar, kuletakkan seluruh
barang bawaanku di atas meja. Kuganti bajuku, kuambil selimut lalu kugelar
untuk tempat belajar bersama Rani. Rani pun datang dengan membawa buku Sejarah.
“Bet..... Kita belajar Sejarah dulu ya?
Nanti selanjutnya kita bahas soal-soal. OK?,” tawar Rani.
“Sejarah? Iya... Dongengkanlah aku apa
yang kau tahu tentang sejarah. Lebih cepat aku nangkap pelajaran kalau
didongengkan. Hehehe....” kataku bercanda.
“Iya...iya... Aku akan mendongengkan
semuanya, tapi kau jangan ngantuk ya?” candanya.
***
“Huahh...Kenapa jadi aku yang ngantuk ya?
Ngantuk kali aku bet. Ayo kita tidur dulu, nanti dilanjut lagi. Nanti kita
lanjut Kimia, gimana? Deal?’ tawar Rani sambil tersenyum.
“Hahaha... Dasar! Tapi yaudalah, daripada
kau ngaur ngomongnya, jadi gak kesampaian pelajarannya. Ayo tidur di bawah ya?”
ledekku
“Iya..iya...” jawabnya sambil mengambil
bantal.
Tepat pukul 11.15, kami pun tertidur.
Jarum jam sudah menunjukkan angka 12.15, Aku pun terbangun tiba-tiba.
“Kenapa
ini ya? Tiba-tiba gini? Takut aku,” desahku dalam hati.
Kubangunkan Rani. Tiba-tiba Esra datang
dengan membawa roti.
“Bet... Ajarilah aku Kimia. Gak ngerti
aku. Yaya?” rayunya.
“Iya. Sinilah. Belajar sama kita.”
Jawabku singkat.
Tawa, canda saling menyelingi percakapan
kami. Saat-saat seperti ini adalah saat-saat yang paling aku butuhkan. Dimana
lengkungan senyum indah terurai di bibir mereka terpancar alami.
“Bet....Bet...! Kau dipanggil Pak
Halasan! Cepat! Sekarang! Di jalan miring!” kata Silvia tergesa-gesa.
“Emangnya kenapa? Aku lagi belajar ini.
Tunggulah.” Kataku malas.
“Gak tau aku! Katanya bapak itu penting
sekarang!” jawabnya tegas sambil pergi.
“Kenapa ini Rani, Esra? Kayaknya ga
biasanya lah bapak itu manggil aku dalam hal sepenting ini. Khawatir kali aku
jadinya.” tanyaku cemas.
“Ah... Gak apa-apa nya itu. Palingan
bapak itu mau ajak kau jalan. Makanya bapak itu bilang cepat.” canda Esra.
“Hahaha… ” tawa Esra dan Rani berbarengan.
“Cepatlah, bet. Langsunglah! Jangan tunda
kesempatan emas ini,” rayu Rani.
“Bet... Cepatlah! Nanti marah Pak Halasan
samaku. Ayo! Aku juga ikut dipanggil.” kata Silvia kesal.
“Iya...Iya... Rani, Esra tunggu aku
bentar yah? Nanti kita lanjutin lagi. OK?” tawarku.
“OK.” Jawab mereka serentak.
***
Setibanya di jalan miring, Pak Halasan
memerintahkan kami ke kantor, dan beliau pun mulai mengintrogasi saya.
“Elisabeth Devi Yanti Sidabutar, itu nama
lengkapmu kan? Kamu anak ke-berapa dari berapa bersaudara?” tanya Pak Halasan
memulai percakapan.
“Siap iya pak. Saya anak ke-4 dari 4
bersaudara pak.” jawabku.
“Kamu minggu lalu IB gak? Sudah tau
gimana keadaan keluarga di rumah?” tanya beliau dengan lambat.
“Siap tidak pak. Siap belum pak.” jawabku.
“Kenapa memangnya?” tanya beliau.
“Siap dengan alasan untuk menghemat
pengeluaran saya di bulan ini pak, jadi saya mencoba IB setiap sebulan sekali
pak.” jawabku.
“Ayah kamu kerja apa?” tanya beliau.
“Siap guru Sejarah di SMAN 1 Tanah Jawa
pak.” Jawabku gelisah.
“Kamu yang sabar ya Elisabeth. Harus
kuat. Sebenarnya bapak tidak kuat untuk menyampaikan pesan ini kepada kamu.
Saya takut kalau kamu mendengar kabar ini, kamu akan berubah. Tidak lagi
Elisabeth yang dulu.” desah beliau sambil mengelus-elus pundakku.
Tak tahu apa maksud dari perkataan
beliau. Hatiku serasa ditekan. Jantungku dipacu dengan cepat, ku lihat ke arah
jam dinding. Ku terdiam sejenak.
“Yang sabar ya nak (sambil mengenggam
pundakku) Ayah... Ayah kamu sudah meninggal.” bisik beliau.
Nafasku terhenti sejenak. Mataku menatap
jam dinding lagi. Suhu tubuhku menurun drastis. Tanganku gemetar, jantung
seakan ditumbuk. Seakan petir datang menghempasku, hujan membasahi raut
wajahku. Rintik dari bola mata pun mengalit. Badan terkulai lemas. Tak kuat
kuhadapi berita ini.
“Gak mungkin... Gak mungkin ayah pergi.”
Tangisku sambil menggelengkan kepala.
“Yang sabar, bet. Ini jalan terbaik yang
Tuhan berikan buat kamu. Pasti ada maksud Tuhan dari peristiwa ini, bet.
Yakinlah.” Kata Silvia sambil memenang tanganku.
“Silvia, sekarang kamu bawa Elisabeth ke
ruangannya, dan bergegas untuk segera IB. Kamu sanggup kan Elisabeth?” kata
beliau dengan lembut.
Aku pun menggeleng. Silvia menopangku
menuju ruanganku. Kunaiki tangga dengan ragu, aku pu terjatuh. Esra, Rani
datang menghampiri aku dan Silvia.
“Kenapa bet? Ada apa? Sil... Kenapa si
sabeth? Kok jadi gini dia?” tanya Esra cemas.
“Nantilah kuceritakan ya, Sra? Bantu dulu
aku bawa si Sabeth ke kamar, mau IB dia. Harus sekarang.” Jawab Silvia
tergesa-gesa.
Esra dan Rani pun membantuku ke ruangan.
Terdudukku di kasurku. Air mata ini tak enggan lagi menari-nari menuruni pipi
ini.
“Saya sudah dengar kabarnya. Sekarang
saya yang akan menemani kamu pulang, kamu segera ganti pakaian kamu dengan
pakaian IB dan saya akan datang secepat mungkin.” Kata Bu Utari selaku pengawas
putri di asrama.
“Bet... Jangan nangis lagi ya? Rencana
Tuhan pasti yang terbaik buat kita. Jangan nangis lagi ya?” kata Rani.
Aku pun melaksanakan Ib ditemani oleh Bu
Utari yang sudah siap dengan seragam dinasnya untuk mengantarkanku.
Selama di perjalanan aku hanya bisa
terdiam, dan termenung. Tak mampu ku berkata apa pun untuk saat ini. Bibirku
keluh, pahit rasa lidah ini.
“Tuhan.....
Ini hanya kabar burungkan? Papa pasti sehat-sehat aja. Papa kan gak ada sakit,
jadi gak akan mungkin. Papa kan juga udah janji sama Ibet, kalau nanti selesai
UTS mau beliin Ibeth es krim. Papa .... Janji kan? Ibet masih butuh papa. Ibet
sayang papa, jangan tinggalkan Ibet sendiri pa... Papa Jahat! Papa gak tau ya?
Ibet sengaja nunggu “A DAY TO REMEMBER”
buat surat untuk papa. Tau gak pa? Ibet pengen papa datang acara “A DAY TO REMEMBER”. Mana janji papa?!
Katanya papa pengen lihat kamar Ibet, pengen lihat lemari adek! Mana pa?
Mana?!” rintihku dalam hati.
***
Siantar... Kota dimana aku dilahirkan dan
dibesarkan. Kota dimana aku mengenal apa itu kehidupan. Memahami arti orangtua.
Mengenal apa itu kasih, cinta, setia dan sahabat. Kota dimana aku memulai
merajut benang-benang masa depanku. Mengawali kepribadianku. Kupandang jauh ke
depan. Kususuri jalan demi jalan.
Rumah...Tempat dimana aku menemukan dan
merasakan kasih sayang orangtua. Tempat dimana aku mengenal saudara. Banyak
orang mengerumuni rumahku. Aku semakin bingung apa yang telah terjadi. Kulangkahkan
kedua kakiku dengan ragu memasuki rumah. Langkahku terhenti sejanak di ambang
pintu. Ku terpaku melihat sosok yang selama ini ada buatku. Tertidur pulas
dengan tangan terlipat, dibalut ulos dan pucat pasi.
“Siapa
dia? Kenapa banyak orang yang menangisi dia? Untuk apa dia ditangisi? Dia hanya
tidur. Lihat! Dia tampan sekali tidur menggunakan jas kesayangannya.” desahku
dalam hati.
Abang menghampiriku, dan memelukku dengan
erat. Aku bingung akan semua ini.
“Ada apa ini?” tanyaku kesal.
“Ayah, dek... Ayah...” jerit abang.
Botol minum jatuh dari genggamanku. Tak
kuat kakiku menopang badan ini. Jatuh.
“Ayah... Ayah...” teriakku tak percaya.
Air mata perlahan menetes dan secepat
kilat mengalir deras. Tak bisa kucontrol air mata ini. Kubiarkan membasahi
pipi. Pandanganku memburam dan gelap seketika. Serasa mimpi, kubuka mata ini
tuk membuktikan semua yang terjadi.
“Huh... ( mengucek mataku) Aku dimana?
Bukannya seharusnya aku di asrama? Kenapa aku disini? Besokkan adek mau ujian
abang. Pasti adek udah telat apel sore kan? Aduh... Sakit kali kepalaku.”
Desahku sambil memegang kepala.
“Adek... Adek di rumah sayang. Masih
belum ingat kah? Ayah dek... Ayah... Kamu gak usah pikiri ujian dulu dek. Kita
di rumah aja dulu ya?” pinta abang.
“Gak mau! Adek gak mau! Adek mau ke
asrama! Besok adek ada ujian abang!” jawabku kesal.
“Adek... Dengar dulu! Mama sekarang lagi
butuh kita adek! Nanti aja kamu ujian. Kan bisa ujian susulan nanti. Papa udah
ninggalin kita adek. Ngertiin mama dong!” teriak abang sambil memegang kedua
bahuku.
Dada ini terasa sesak untuk menerima
kata-kata itu. Sakit. Bibirku keluh sejenak.
“Pa...Pa...Papa.... Ibet masih gak
percaya abang. Papa itu masih ada! Papa kan janji sama adek bakalan ada buat
ade. Papa janji sama adek bakalan datang ke acara “A DAY TO REMEMBER”,
bakalan masuk kamar adek, lihat baju adek 20 cm, lihat tempat tidur adek. Papa
gak mungkin bohong! Abang yang bohong! Abang salah!” tangisku lemas.
Besar tangan itu merangkulku dalam hangat
pelukannya. Tangan itu menyentuh pendek rambut ini.
“Adek... Papa emang udah ninggal sayang.
Tapi kan papa masih ada disini (tunjuk dada). Papa selalu di samping adek, udah
lihat baju adek yang 20 cm, tempat tidur adek. Papa selalu datang ke kamar
adek. Jangan nangis lagi ya sayang,” bisiknya mengelus kepalaku.
“Gak... Gak... Gak! Papa Jahat! Papa
ninggalin adek disaat adek lagi butuh papa! Tuhan jahat! Tuhan ambil papa dari
Ibet! Ibet benci Tuhan! Tuhan gak adil!”teriakku sambil memukul-mukul punggung
abang.
“Kamu boleh pukulin abang sampai kamu
puas, kalau adek mau sampai abang sakit. Kamu boleh marah-marah sama abang,
tapi jangan nyalahin Tuhan sayang. Tuhan itu baik, dan akan selalu baik sama
adek. Tuhan adil dan bahkan lebih sayang sama papa, dek.” bisiknya.
“Gak! Ibet lebih sayang sama papa! Tuhan
gak tau itu! Tuhan emang benci sama adek, selalu ambil orang yang adek sayangi!
Tuhan emang gak pernah adil sama adek!” teriakku.
Air mata ini semakin deras. Tak enggan
lagi untuk turun. Abang hanya bisa mengelus kepalaku untuk menenangkan dan
mendinginkan hatiku.
“Udah tenang? Ayo kita ke depan adek.
Kita temani mama ya sayang? Mama pasti lagi butuh kita dek. Lihat papa juga,
papa juga pasti pengen kita ada di sampingnya. Ayo kita ke depan adek?” bujuk
abang.
Aku pun menggeleng. Kudekati tempat tidur
itu. Tempat dimaan sosok lelaki hebat buatku tidur tenang, tersenyum dan tampak
tampan sekali. Kusentuh kerasnya kepala itu, dinginnya tangan itu. Tangan yang
selalu merangkulku ketika aku kedinginan. Tangan yang selalu mengangkatku
ketika aku terjatuh. Tangan yang selalu menghapus air mataku ketika aku
menangis. Tangan yang selalu menciptakan karya-karya terbaik buatku. Tangan
yang telah berhasil merajut benang kesuksessan untuk panutanku. Sekarang, tak
ada lagi yang akan mengahapus air mataku. Tak ada lagi yang mengangkatku saat
aku jatuh dan terluka.
“Papa...
Iebt minta maaf
buat semua kesalahan yang pernah Ibet yang udah lakukan buat papa. Ibet sering
nakal, marah-marah sama papa, melawan papa, emosi kalau papa minta tolong.
Pa... Maaf...”tangisku dalam hati.
Tuhan
tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuk papa.
Ibet
kan janji takkan hianati pintamu.
Papa
dengarlah.
Betapa
sesungguhnya Ibet cinta papa.
Ku
kan buktikan ku mampu penuhi pintamu.
Ku nyanyikan lagu
itu, air mata semakin deras mengalir di pipiku. Tak tahan kupendam semua ini.
***
Selasa, 8 Oktober 2013. Acara adat pun dimulai.
Kerabat, sanak saudara datang untuk memberikan kata-kata penghiburan untuk
mama. Seharian penuh kami sekeluarga menghadapi yang ada di adat Batak Toba,
memberikan ulos, menortor dan mangapuli.
Rabu, 9 Oktober
2013. Ayah pun dimakamkan di daerah Ambarita tepatnya di samping daripada makam
opung dari ayah saya. Selesai pemakaman, kami pun kembali pulang menuju rumah.
Merelakan kepergian papa, itulah satu-satunya jalan yang terbaik untuk kami
sekarang agar papa tenang di sisi-Nya. Mama yang dulunya hidup berdua bersama
papa, sekarang harus terbiasa hidup tanpa suami yang sangat ia cintai. Yang
selalu menyambut mama saat pulagn dari berjualan di pasar. Saat ini, mama hidup
sendiri tanpa papa. Mama pun menjalani hidup tanpa sang suami yang selalu ada
buatnya ketika ada masalah yang menimpanya terkait perekonomian, keluarga dan
sanak keluarga.
Sabtu, 12 Oktober
2013 pukul 15.00 saya pun pamit kepada mama, abang dan kakak untuk kembali ke
asrama karena harus menghadapi ujian susulan tengah semester.
“Mama, abang,
kakak…. Ibet pergi ya? Jaga kesehatan kalian selalu dan ingat jangan
sedih-sedih lagi ya… Doain Ibet biar bias menghadapi ujian susulan. Ibet saying
kalian.” Kataku sambil mencium tangan mereka bermaksud untuk pamit.
“Impianku tuk
berangkat ke Jakarta jika esaiku lolos bersama ayah, memperlihatkan kamarku
saat acara “A DAY TO REMEMBER” nanti, merayakan
ulangtahunku yang ke-17 “Sweet Seventeenth” tanpa ayah,
malua tanpa kehadiran ayah, natal k-2 di asrama, membuat rumah ciptaanku
sendiri untuk ayah, membangun rumah bunga, dan gereja. Itu hanyalah mimpi
belaka, yang takkan pernah kuwujudkan tanpa ayah di samping aku dan selalu
dukung aku. L Semua harapan,
cita-citaku untuknya itu hanya bias kuraih di mimpi dan kenangan saja. Ayah…
Ibet gak kuat melewati semua janji-janji, harapan-harapan, dan hidup tanpa ayah
disamping Ibet.
Gerbang asrama,
gerbang yang selalu menunggu kedatanganku. Ku langkahkan kedua kakiku dengan
pasti. Ku yakinkan hati ini untuk menjalani hidup yang sudah jauh berbeda
dengan yang dulunya.
“Ayah… Sekarang ayah udah gak ada lagi. Ayah tenang
disana ya. Ibet janji bakalan sukses. Janji bakalan bias wujudkan impian-impian
papa meskipun dalam kenyataannya sulit Ibet lakukan. Papa. Ibet belum sempat
lihat senyum terakhir papa, Ibet ingin memeluk papa untuk yang terakhir kalinya
tapi papa keburu pergi. Papa… Ibet gak kuat harus tinggalin mama sendiri di
rumah. Mama pasti kangen papa. Pa… Jangan pernah tinggalin Ibet sama keluarga
ya. Papa selalu ada di hati Ibet. Papa… Ibet akan menjadi seorang asrsitek yang
bisa bangun rumah, dan gereja untuk papa. Itu janji Ibet sewaktu papa tanya.
Papa… kehidupan baru akan Ibet jalani tanpa sosokmu. Papa…. Ibet kangen sama
papa…”
Lelaki itu adalah
sosok yang mampu menciptakan setiap lengkungan manis di wajah setiap orang yang
berada di dekatnya. Mampu merajut benang kesuksessan secara perlahan tapi pasti
buatku. Mampu menghapus kesal, duka, dan lelahku. Mampu membuatku bangkit
disaat aku jatuh karena tekanan. Ayah… Aku sungguh sangat mencintaimu lebih
dari yang ayah tahu. Aku
merindukanmu tak seperti rindu orang lain kepada
ayahnya. Aku mencintai ayah dari segi kelemahan dan kelebihan yang ayah punya.
Andaikan detik itu
Kan bergulir kembali
Kurindukan suasana
Basuh jiwaku
Membahagiakan aku
Yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk wujudkan segala sesuatu
Yang pernah terlewati..
Salam rinduku,
0 komentar:
Posting Komentar