Masih belum lama kejadian ini berlalu. Bahkan sedang ku alami. Kalian mungkin tidak akan pernah mengerti bagaimana keadaanku sekarang. Terpuruk, terpukul, sakit, dan bahkan lebih sakit dari kejadian yang pernah kalian rasakan dan alami. Tidak pernah terlintas dibenakku bahkan tak pernah aku mengira dan menyangka semua ini akan terjadi. Tidak ada sedikit pun niat tuk seperti ini.
Handphoneku berdering tanda alarm dengan bernadakan lagu Rohani membangunkanku dari tidurku. Segera kubuka pintu kamar, dan langsung melihat ke arah jam dinding yang tepat berada di depan kamarku. “Akkhhh….masih jam 4-nya. Masih lama laginya jam 6. Tidur lagi lah akh..Masih ngantuk (hooaaamm)”, seru ku saat ku lihat jam dinding itu. Dan aku pun mengambil selimut yang sempat terjatuh d bawah tempat tidur, karena tidak dapat menahan hawa dinginnya subuh. “Huffttt….”, kutarik nafas panjang sambil menggosok-gosokkan kedua tanganku dan kemudian meletakkannya di pipiku. Lama kelamaan aku pun tertidur. Saat aku tidur terlelap, terdengarlah suara nyaring mama yang seketika mambangunkan aku. “Ibet…Ibet..Ayo bangun!”, seru mama. “Ahh…masih ngantuk mak”, jawabku dengan nada malas. Balas mama, “Ehh… Ayo bangun! Bersihkan rumah dulu, baru tidur lagi”. Dan aku pun langsung bangun dan segera beranjak dari tempat tidurku. Langsung ku ambil sapu dari balik pintu belakang. Sebelum mulai menyapu, aku beranjak menuju komputer dan langsung menyalakannya. Sambil menunggu komputer siap untuk digunakan, aku pun melihat pesan yang masuk di handphoneku. Setelah komputer sudah loading dan aku pun langsung memilih lagu Chery Belle, lagu Rohani dan lagu-lagu luar negeri untuk ku perdengarkan. Setelah selesai memilih lagu yang pas di hatiku, aku pun langsung menyalakan speakernya dan menekan tombol play yang ada di winamp, lagu pun terdengar dengan keras dan bass yang kedengarannya seperti di diskotik. Sambil mendengar lagu-lagu tersebut, aku pun memulai menyapu ruang tamu terlebih dahulu.
Setelah selesai menyapu ruang tamu, ku sapu ruang tengah, ruang makan dan ruang TV. Sehabis itu, aku langsung menyiapkan air untuk mengepel dan mulai mengepel ruang tamu terlebih dahulu. Lalu aku beranjak ke ruang tengah. “Huufftt…Capek.”, seru ku kelelahan dengan keringat berjatuhan. Ku tunggu lantai hingga kering. Setelah 15 menit kemudian, lantai pun mulai kering, segera ku lebarkan tikar dan ku nyalakan TV dan langsung ku rebahkan diriku di tikar itu sambil menghela nafas yang panjang pertanda kelelahan. Tak sadar karna kelelahan, aku pun tertidur lagi hingga pukul 06.00 WIB.
“teng…teng..” Suara lonceng Gereja berdentang membangunkanku dari tidurku. Langsung ku bergegas untuk segera mandi. Tapi sebelum itu, aku menggulung tikar dengan masih keadaan lemas. Setelah itu, ku ambil handuk dan aku pun mandi. Sehabis itu aku pun sarapan dan pergi ke sekolah dengan terlebih dahulu pamitan kepada mama dan papa “Ma..Pa…aku pergi ya?”, teriakku. “Hati-hati di jalan, belajar yang bagus ya nak”, balas mama.
Sesampainya di sekolah, keadaanku masihlah ceria dan pelajaran Bahasa Inggris pun dimulai. Karena Mr. Tambun tidak dapat hadir karena beliau sedang sakit, jadi Ibu M. Sinagalah yang menggantikan beliau, dan ia memberikan tugas kepada kami untuk mengerjakan LKS Bahasa Inggris. Mendengar itu kami pun langsung mengerjakannya, karena tepat pergantian les ke-2 harus dikumpul. Setelah 1 jam 30 menit berlalu, lonceng tanda pergantian les ke-2 pun berbunyi. “Ayo cepat, kumpul..kumpul..”, seru Ibu M. Sinaga. Kami pun segera mengumpulkannya dengan terdesa-desa. etelah pergantian les, masuklah Pak Berutu yang menggantikan Pak E. Butarbutar yang tidak dapat membagikan Rapor kami karena ada urusan mendadak tentang Olahraga. “Deg.deg..deg.deg….”, jantungku berdetak kencang. Aku takut bahwa nilaiku akan turun, karena hasil Ujian MID Semester kali ini, aku benar-benar tidak belajar. Saat nama ku dipanggil, aku langsung mengeluarkan kalkulator dari dalam kotak pensilku dan merata-ratakan hasil MID-ku. Dan ternyata, dugaanku benar. Rata-rataku turun 2 angka dari sebelumnya . Setelah Pak Berutu selesai membagikan Rapor kami masing-masing, kami pun beranjak pergi ke pengembangan diri masing-masing. Ada yang memilih Bola Volly, Vocal Solo, Drum Band, Sepak Bola, dan Pramuka. Setelah 90 menit waktu untuk pengembangan diri habis, lonceng pun berbunyi. Semua murid pun beranjak keluar dari kelasnya masing-masing dan segera pulang. Aku pun mengambil tas dan botol tehku dan pulang bersama Kristin, temanku. Saat di jalan, aku bertanya kepada dia,”Tin. Ayok ke pajak bentar? Aku mau minta ongkos untuk latihan nanti. Kubayari pun ongkos mu.Ya?”. “Oke..”, jawabnya.
Saat aku hendak membeli roti si kakek, aku mencari-cari uangku. Sampai-sampai ku bongkar tasku, tapi ternyata tidak ada. Sempat terlintas di benakku bahwa uangku pasti tinggal di laci mejaku. “Tin..Ayo bentar kita tengok dulu uangku di laci mejaku. Macamnya gk ada di kantongku. Kawanin dulu aku?”, seruku. “Iya, ayolah..nanti keburu hilang uangmu.”, jawabnya. Secepat mungkin kami menuju kelas dan langsung memeriksa laci mejaku. Dan ternyata uangku masih ada disana dengan utuh, tanpa cacat sedikit pun. “Untunglah ada aha..kalo gak, gak tau lagi aku kekmana aku pulang”, seruku dengan perasaan lega. Lalu ku ajak Kristin untuk pulang secepat mungkin. Kami pun pergi ke pajak terlebih dahulu karena ingin melihat apakah mama masih ada atau tidak. Ternyata mama sudah pulang, dan kami pun beranjak pulang dari pajak ke rumah masing-masing.
Setelah sesampainya di rumah. Langsung kulepaskan kaus kaki yang bau ini dari kakiku, dan membawanya ke kamar dengan lelah. Ku rebahkan diriku ke tempat tidur sambil memejamkan mata dan berpikir sejenak. “Kenapa semenjak kelas 3 ini, aku makin malas ya? Aneh!”, tanyaku dalam hati. Cepat-cepat ku ganti bajuku dan langsung menuju dapur melihat lauk hari ini dan secepat kilat ku ambil piring dan menyendokkan nasi ke piringku dan berdoa. Selesai berdoa, langsung ku makan makanan itu dengan lahap. 5 menit kemudian makananku pun habis dan ku berkata,”Ahh..akhirnya kenyang juga. Makasih Tuhan”. Sehabis itu langsung ku menuju kamar mama untuk menyalakan laptop dan mencolokkan modem agar bisa online. Setelah laptop menyala, aku pun langsung menekan tombol connect supaya bisa terkoneksi ke Internet. “Connection Success” pun tampak di layar, langsung ku klik Google Chrome dan mengklik link www.facebook.com, dan link-nya pun tampak di layar. Ku ketiklah nama ID dan Passwordku dan menekan tombol log in. Setelah Log in sukses, tampaklah ada 17 pemberitahuan, 2 pesan, 5 permintaan pertemanan. Aku melihat ada Lidy’a Marcelina Simanjuntak mengirimkan sesuatu ke Sembilan-A-Dua. Langsung ku klik pemberitahuan itu, dan tampaklah kirimannya ke Sembilan-A-Dua yang menuliskan seperti ini “BEda'a anak a2 ma anak a1!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! qta t'lalu banyak kelompok" ga JELAS. Anak a1 ga kayak qta ..Orang ttu jarang ada pengelompokan. #cumaINFO kalo memang klen mw BRUBAH...# ga aci marah yy..hanya pendapat.....”. Langsung ku balas “d A2 gk prnah ada yg nma ny pengelompokan”. Dan banyak lagi yang memberi komentar terhadap dinding yang Lidya kirim ke dinding Sembilan-A-Dua seperti Chriswaty Marpaung, Cyntia Bernadetta, Acha Simanjuntak, Dyon Simbolon dan Clarita Butz” (itulah nama-nama nickname facebook mereka). Semakin lama, semakin banyak yang bertanya apa sebenarnya maksud dan tujuan dari dia mengirimkan dinding yang berisi itu ke Sembilan-A-Dua. Banyak yang bertanya bahwa sebenarnya apa maksud dari pengelompoka gk JELAS yang dimaksudkan Lidya. Pada saat yang bersamaaan, ia mengirimkan sms ke nomor banyak yang sering disebut sebagai “Send All”. Send All-nya berisi seperti ini “#S.a: Kasar kalii,, yy cara ngomong klen.. klen kayak ga punya kekurangan. MAKASILAH ATAS SIKAP SOK SEMPURNA KALIAN DI KELAS!! #Nyesal.com” Langsung ku pencet tombol balas dan balas kepada dia “Bah? Kenapa?”,tanyanya. Jawabku, “Gpp. Nice”. Dari send all-nya yang barusan, kami pun menjadi sms-an. Sampai ketika masukla sms dari Cintya tertera di layar dan langsung ku buka smsnya, ternyata berisikan kalau pengelompokan yang dimaksudkan oleh Lidya itu adalah kelompok TOYA kami. Lalu aku balas smsnya “Cin, cok kirimkan dlu apa yang dibilang si Lidya sama mu tentang TOYA.”
5 menit kemudian. Masuklah pesan dari Cyntia yang berisikan seperti ini “Contohnya pengelompokan yang aku bilang. 1. Kita tuh berteman sendiri-sendiri. 2. Kelompok TOYA KLEN ITU: tutor sebaya tapi klen gk terbuka.” Lalu aku balas dengan berkata,”Kau iri ya sama kami? Karna gk kami ikutkan kau?”. Langsung ia menjawab dengan kata-kata yang pedas dan tajam. Seperti ini “Aku gk perlu iri sama grup TOYA mu itu. Ga mutu! Ngapain bentuk grup, kalo nyusahin ortu! Nyari ampe jam 10 malam k ruma kawan. Aku bukan anak-anak BANDEL! Gak mau nyusahin ortu hnya karna KELOMPokmu itu! Lagian aku gak pernah mikir ato punya pikiran kalo mau ikut GRUP yang suka ngomongin yang gk jelas.!” Melihat dan membaca pesan itu, air mataku perlahan jatuh dan makin deras air mata ini mengalir membasahi pipiku. Aku tak mengerti dan tak ada terlintas di benakku kenapa air mata ini bisa membasahi pipi ini. Aku bertanya-tanya dalam hati ini,”Kenapa aku ini? Heeyy bet.. Kau kenapa? Kok tiba-tiba nangis? Ayolah senyum”. Baru [un ku sadari bahwa aku tiba-tiba nangis karena aku dikatain anak pembawa beban, anak yang bisanya hanya membawa masalah, memuat susah orangtua. Aku sempat berakata, “Tuhan..Jika aku hanyalah sebagai beban buat orangtuaku, mengapa aku harus dilahirkan? Bukannya aku anak pembawa sial buat orangtua? Mengapa aku hidup Tuhan? Tuhan cabut nyawaku Bapa.!”.
Aku pun menangis lebih dalam lagi. Sempatku terhenti seketika, dan mengarah ke foto keluarga kami, aku sempat berfikir, “Mungkin jika aku tidak dilahirkan di dunia ini, papa mama gk bakalan terbebani dengan hidupku, mama papa gk bakalan malu punya anak seperti aku, bandal. Tapi ma, pa… Aku gk pernah pulang jam 10 malam hanya gara-gara kelompok kami itu. Kami paling lama pulang jam 5 sore mama. Percayalah, aku sayang papa mama. Aku gak akan mungkin punya niat tk menyusahkan kalian. Aku cuman pengen kasih tunjukkin ke kalian, kalo aku Elisabeth yang bisa membanggakan kalian.” Seketika kuberdoa sama Tuhan. Kututup pintu kamar, kupadamkan lampu kamar, ku pasanglah sebuah lilin. Kutenangkan dan kufokuskan jiwa, hati, dan pikiranku sejenak. Terlintas lagi kata-kata itu dibenakku, dan air mataku pun mengalir makin deras dan akhirnya aku menjerit dan dengan nada yang tersendak-sendak,”Bapa…Bapa…Bapa…Dengar seru anak-MU ini. Bapa…CABUT NYAWAKU. Aku gak mau lagi HIDUP…..Sakiiiiiiiitttt Bapa…..PEDIH…. ”. Di sela-sela jeritanku itu, aku berhenti sejenak untuk menarik nafas panjang. “Huuufffttt..”, terdengar suara helaan nafasku. Lalu aku pun melipat kedua tanganku dengan erat sambil memeluk sebuah boneka beruang berwarna coklat dengan erat, dan mulai untuk berdoa. “Tuhan… T’rimakasih buat hari ini, t’rimakasih karena uda bikin sakit hati ini muncul lagi, t’rimakasih karena udah hadirkan orang seperti dia di hidupku. Tapi, Bapa percayakan aku gak pernah pulang jam-jam 10 malam Bapa. Itu gk mungkin. Bapa, Bapa percayakan samaku? Aku udah gak tau lagi Bapa siapa yang mau percaya samaku lagi. Tapi kalo Tuhan tidak mau unutk percaya, gak papa kok. Tapi aku minta satu hal aja Bapa. Satuu aja…..Aku minta Tuhan jangan pergi dari aku. Aku butuh Tuhan di sisiku. Aku perlu Kau Bapa, aku perlukan Tuhan seorang. Aku gak perlu dengan orang-orang lain. Aku cuman butuh Bapa...”, pintaku di doaku itu.
Terlintaslah di benakku untuk keluar dari kelas Sembilan-A-Dua. “Sebaiknya aku yang harus keluar dari Sembilan-A-Dua. Mungkin akulah yang harus mengalah. Akulah yang harus menahan semua ini, akulahi yang harus berkorban buat kalian teman.. Mungkin dengan tidak adanya aku, hidup kalian tidak akan pernah sesusah saat ini, hidup kalian tidak pernah terbebani dengan adanya kehadiranku. Mungkin aku harus pindah. Ini mungkin jalan keluar yang terbaik buat kelas kita, teman. Mungkin Tuhan memang menghendaki ini semua tuk terjadi. Tuhan aku tau ini semua kehendak-MU. Mungkin inilah jalan keluar yang terbaik yang Tuhan maksudtkan ke kelas kami. Aku siap Bapa, aku pasrah dengan keadaan yang bisa membuatku menjadi apa yang Kau kehendaki. Aku gk bisa ngapa-ngapain. Aku gk bisa lagi berbuat mapa-apa buat masalah ini Bapa. Aku hanya bisa berserah kepada-MU Bapa. Aku hanya dapat menatap pedihnya hati yang tersakiti karena kawan sendiri berbuat begini kepada kita. Aku tau Bapa, mungkin semua orang tidak mengkhendaki kehadiranku di dunia ini, semua orang mungkin anggap aku orang yang paling bodoh, karena tidak bisa membanggakan orangtuaku dengan sepenuhnya. Tapi aku janji Bapa, kalau suatu saat nanti, aku bisa membuat satu lengkungan senyuman yang paling manis yang pernah aku lihat dalam raut wajah mama dan papa karena bangga punya anak seperti aku. Aku janji Bapa, aku akan berusaha. Tapi aku mohon Bapa, izinkan aku untuk membuktikan semua ini kepada semuanya. Kalau aku pasti bisa (tekadku)”.
Seiring waktu berjalan tak terasa aku larut dalam kesedihan sampai aku tiba-tiba tertidur tanpa kusadari. Hingga saat sore hari sekitar jam 4 sore, aku terbangun, dan mulai melihat sekitarku. Dan aku pun baru menyadari semua yang telah terjadi, kamar berantakan, bantal basah dengan tetesan air mata. Langsung ku rapikan kamarku yang tadinya seperti kapal pecah, akhirnya rapi kembali seperti semula. Dan aku pun mandi dan segera pergi untuk latihan menari untuk perlombaan tanggal 15 Oktober ini. Aku pun berangkat dan setibanya aku di tempat latihan kami pun langsung memulai semua gerakan-gerakan. Lelah menyelimuti badanku, dan setelah selesai latihan kami pun pulang, dan setibanya aku di rumah. Detik berganti menit, menit berganti jam dan jam berganti hari.
Hari Sabtu pun berlalu, dan Hari Minggu pun tiba. Pagi hari tepat pukul 06.00 aku dan mama bersiap-siap untuk pergi ke Gereja dengan menggunakan sepeda motor ayah.Sehabis mandi kami pun makan dan langsung pergi ke Gereja. Setibanya di Gereja aku dan mama menyalam pendeta dan mencari tempat duduk. Sebelum acara Gereja dimulai, aku pun berdoa terlebih dahulu. Aku berdoa dengan menahan agar air mata tidak terjatuh di Rumah Bapa,”Tuhan…T’rimaksih buat pagi yang indah ini. Engkau tau apa yang hambe butuhkan, Engkau tau apa yang sedang hamba rasakan saat ini. Engkaulah yang bekerja di dalam hatiku. Amin”. Sehabis berdoa, acara pun dimulai selama 1 jam hingga pukul 07.30 WIB. Setelah acara kebaktian selesai, kami pun pulang, dan aku bersiap-siap untuk berangkat latihan nari lagi hingga pukul 17.30 WIB.
Pagi yang cerah pun tiba. Aku bergegas berangkat ke sekolah diantar papa. Sesampainya aku di sekolah, aku memandangi langit, dan berkata dalam hati, “Bapa…Langit pagi ini cerah tak seperti hatiku yang sedang mendung ”. Kulihatlah Pak Sitorus ingin memasuki kantornya, dan aku pun berpikir,”Ayolah bet. Kau harus keluar dari Sembilan-A-Dua ini!”. Dan langsung kukejar bapak itu dan bilang dengan harus menahan agar air mata ini tak jatuh lagi, “Pak… Aku mau pindah kelas, secepatnya”. “Kenapa rupanya inang…Ada masalah apa rupanya kau? Kok mau pindah? Ceritalah dulu”, jawab beliau. Mendengar itu langsung air mata ku tak dapat kutahan lagi, Dan akhirnya keluar dengan sakitnya dan dengan deras. Disela-sela percakapan kami, datanglah Barbara ke kantor bapak itu dan mengampiriku sambil berkata,”Kalau kau gini terus, si Lidya itu bakalan senang. Mana sabeth yang kukenal dulu? Yang selalu ceria, jangan jatuh ginilah bet. Aku gk suka kau jadi lemah!”. “Gak bisa loh bar, gk tahan aku sama perlakuannya. Kau gk pernah rasakan sakitnya. Kalian gk akan pernah ngerti sama keadaanku”, jawabku. Lalu mulailah berdatangan Dion, Cyntia, Cheche, Acha dan Irma ke kantor Pak Sitorus dan mulai membicarakannya. Aku pun dengan ragu-ragu akhirnya menceritakan semua itu. “Ya kau harus bisa berusaha menjadi yang lebih baik dari dia, kenapa rupanya?”, seru Pak Sitorus dengan nada yang cukup tinggi. “Kalau pun aku berusaha, apa pernah bapak peduli sama usahaku? Yang selalu bapak pikirkan hanya Lidya, Lidya. Apa aku pernah bapak anggap? Gk kan?!”, kataku dengan nada yang tinggi sambil menumbuk meja dan berlari keluar kantor dengan tangisan yang semakin tak bisa kutahan lagi. “Tuhan..Aku benar-benar tidak sanggup lagi”, kataku dalam hati. Dan langsung ku menangis di atas tasku yang kututupi dengan sweater hijauku. Dan lonceng tanda pelajaran pun dimulai. Barbara yang melihat aku seperti itu, ia jadi duduk sebangkuku. Dan pelajaran IPS berlangsung. Setelah beberapa jam kemudian keluar main-main pertama tiba. Sedangkan aku hanya bisa menangis sepanjang les berlangsung. Lonceng main-main kedua pun tiba, aku berusaha untuk bisa beranjak dari bangkuku itu. Dan aku meminta Theo untuk menemaniku beli makanan di kantin karena perutku sangat lapar. Pada saat selesai membeli makanan kulihat Julius sedang kesulitan. “Kenapa, Jul?”, tanyaku. “Bantuin dulu aku membuka pintu ini”, serunya. Langsung ku dorong pintu dengan keras. Aku tidak mengetahui bahwa Lidya ada di balik pintu.
Seketika aku mendorong pintu, kulihat Lidya. Dan ia sedang kesakitan karena terkena dorongan pintu itu. “Sakit kali, udah awasla kalian!”, serunya. Melihat semua itu, aku tercengang. Dan refleks, aku termarah dan mencampakkan semua makanan yang sudah sempat ada di tanganku dengan keras sambil menendang tong sampah. “Dubuarrrr…” tong sampah pun terjatuh. Dan aku pergi ke kamar mandi dengan air mata yang bercucuran. Barbara, Reka mencoba tuk mengejar aku dan aku sempat berhenti, dan berkata,”Udalah sana kalian.! Belain aja dia! Terus salahin aku! Capek aku wei.”, teriakku. “Gak gitu loh bet.”, jawab Reka. “Kubilang sana…sana! URUSI DIA! GAK USAH PEDULIIN AKU!”, balasku.
Sesampainya di kamar mandi, aku langsung mencari ruang yang kosong dan akhirnya menemukannya dan mengunci pintunya. “Buka dulu bet. Jangan gini la kau!”, teriak Barbara. “Tuhan CABUT NYAWAKU sekarang juga! AKU GAK MAU LAGI HIDUP!”, kataku sambil menangis dalam keadaan jongkok di depan pintu kamar mandi itu. Lonceng tiba, dan akhirnya aku berusaha untuk memberanikan diri untuk keluar. Saat aku keluar, kulihat Barbara, Reka, Chriswanti, dan Acha sudah menungguku di depan pintu. Aku pun tidak tau harus berbuat apa. Langsung Barbara memelukku dengan erat dan bekata,”Bet..kami disini. Jangan gini lagi lah bet”. “ Tapi gk ada yang bisa percaya sama aku lagi”, seruku. “Ada kami disini sabet. Udalah ah, gk usah lagi kau pikirkan semua ini. Hapusla air matamu. Sayang kali air matamu habis hanya gara-gara dia. Gk ah. Udah ya?”, katanya. Mendengar itu aku hanya bisa mengangguk-angguk pertanda iya. Dan lagsung menarik tanganku untuk masuk ke kelas sambil memegang bahuku.
Pelajaran ke-7 pun berlangsung (Fisika). Ibu Sitepu sudah berjanji untuk mengadakan diskusi kelompok dengan melaksanakan praktek. Kami pun bergegas untuk menuju ke Labolatorium dengan cepat. Setibanya di labolatorium kami pun memulai praktek kami. Setelah beliau selesai menjelaskan semua peraturan dan langkah-langkah untuk melakukan praktek, kami pun langsung praktek. Sehabis praktek lonceng pertanda pulang pun berbunyi. Segera kami bereskan semua peralatan ke tempat masing-masing. Dan menyapu labolatorium dengan bersih. Sehabis itu, aku pun langsung pulang. Dan setibanya di rumah, aku ingat kata-kata Barbara yang mengatakan bahwa harus kuat. Aku pun berdoa dan berkata,”Tuhan…Aku akan coba untuk kuat menghadapi semua ini. Tapi aku gk janji aku bisa sekuat batu karang. Kuatkan aku, Bapa”. Dan dari situlah kudapatkan pesan bahwa “Dalam menghadapi hidup, haruslah bersabar dan tekun.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar