Kalimat itu masih saja sering terngiang-ngiang di benakku. Entah apa yang membawanya. Yang jelas aku tidak menyukai kalimat itu.
Kenapa? Karena kalimat itu seolah-olah membunuh kami secara perlahan. Mungkin ini hal yang wajar , namun bagi kami murid kelas sembilan a2 kalimat itu adalah jalan yang terbaik untuk mencapai keterpurukan. Semula hanya seorang guru. Hingga akhirnya dua,tiga,empat bahkan hampir seluruh guru seakan senang sekali mengucapkan kalimat itu.
Semua berawal dari masuknya banyak anak lelaki dan perempuan ke depan pintu gerbang smp swasta RK Bintang Timur Pematangsiantar . Ya, itulah saat pertama kami anak belia memasuki pendidikan sekolah menengah pertama, SMP. Kami semua dipertemukan secara tidak sengaja sehingga terbentuklah kelas tujuh a2. Dimulai dari perkenalan, hingga akhirnya menjadi persahabatan. Bisa dibilang kami termasuk kelas yang cukup kompak dan unggul. Berbagai kisah dan cerita berlomba-lomba untuk mengukir perjalanan kami semua. Adapun itu cerita sedih, cinta, persahabatan, ataupun permusuhan. Bak layaknya angin , cerita-cerita itu kami torehkan secara silih berganti. Hingga kami tidak menyandang lagi gelar murid kelas tujuh a2.
“Yey, kita udah kelas delapan!” seru irma . Irma teman sekelasku yang cukup heboh seakan menjadi mulut bagi teriakan kesenangan kami semua. “Nggak terasa ya, kita udah jadi kakak kelas.”sahut barbara. Riuh seakan menggema di kelas kami . Bersahut-sahut tak ada yang mengalah. Hari pertama kami duduk di kelas delapan memang terlihat sangat indah dan menyenangkan. Banyak yang bilang masa-masa kelas delapan adalah masa-masa yang paling bebas dan menyenangkan selama menduduki bangku smp. Itu memang benar, saat-saat kelas delapan memang menyenangkan bagi kami semua. Namun kesenangan ini terhenti sejenak. Stlah memasukisemester kedua, kelas kami seakan perlahan mulai berubah.
Entah siapa yang mengawalinya, kami pun tak tahu. Yang jelas kelas kami yang dulunya sering dipuji mulai menghilangkan diri dari pujian-pujian guru. Banyaknya masalah kelas kami memang menjadi kendala utama mengapa kelas kami berubah. Kesedihan kami mulai tampak satu persatu . Walau masih saja ada sebagian yang belum peduli dengan itu.
“Bagaimana kita ini?” tanya sabeth. Seakan merasa bersalah dan heran dia bertanya kepada kami.
“Kenapa rupanya?,Toh kita masih dianggap guru kan.”seru theo.
“Iya, tapi belakangan ini kita sering kali ditimpa masalah.”lanjut sabeth
“Apa yang kita bisa buat coba? Kita gak bisa buat apa-apa beth.”seruku.
“Malahan kalau kita berbuat sesuatu mungkin saja akan ada masalah baru”, usul clarita.
Kami sedikit bingung dan memutuskan untuk tetap diam dan kembali melihat perkembangan kelas kami. Kami semua pun memasuki kelas. Memang pada les pelajaran saat ini yang masuk adalah wali kelas kami. Dengan cepat kami masuk kedalam ruangan dan duduk diam takut kalau-kalau wali kelas kami akan marah besar.
“Saya kecewa melihat kelas ini, kelas yang sudah saya bina selama hampir 2tahun.”ucap ibu sitepu sambil berjalan menduduki kursi guru. Kami terdiam bak hewan yang linglung tak tahu akan kesalahan yang kami perbuat .
“Banyak sekali masalah, apa saya kurang sigap untuk mengawasi kalian semua? Kalian sudah remaja sudah pasti dapat menentukan mana yang baik dan mana yang kurang baik.”celoteh ibu sitepu lagi. Sekali lagi kami pun hanya terdiam dan tak ingin untuk berbicara.
Begitulah kelas kami sekarang yang telah berubah menjadi kelas apatis dan banyak permusuhan. Celotehan guru tak jarang keluar kepada kami kelas delapan a2. Wali kelas kami pun tak kalah malunya karena sering di cemooh oleh gur-guru lain tentang perubahan sikap kami yang cukup drastis.
Sudah tak terbilang lagi berapa banyak buih ludah yang dikeluarkan oleh wali kelas kami demi menasihati kami dan menyelamatkan dari keterpurukan yang kian lama semakin parah. Hingga akhirnya kami memasuki tingkatan yang lebih tinggi lagi. Kelas 3. Ya, memang masa-masa ini adalah masa-masa yang paling ditakuti oleh seluruh murid smp. Karena pada masa inilah kita dituntut untuk lebih serius menghadapi pelajaran. UN juga menjadi faktor pendorong paling utama yang menyebabkan kepala sering berdenyut. Akan tetapi bukannya serius belajar lagi-lagi kami masih saja membawa-bawa lakon jelek yang sudah kami perankan sejak kelas delapan dulu.
Makin banyak lagi teguran guru. Bahkan ada satu masalah lagi yang timbul yaitu masalah nama baik. Banyak guru yang telah memberikan cap kepada kelas kami tentang nama baik kami yang sudah rusak. Kami juga tidak tahu apa kami punya nama baik atau tidak. Dan kalaupun kami punya itu sudah hancur berkeping-keping. Bukannya berusaha memperbaiki, kami malah saling menyalahkan satu sama lain.
“Itulahkan makanya kalian gausah lebay-lebay”ucap seorang pengurus kelas kami dengan ketus.
“Siapa yang lebay? Intropeksi diri sendiri dulu lah, jangan salahin orang”balas teman yang lain seolah tak mau mengalah.
Keadaan kelas semakin lama semakin riuh. Tak ada satupun yang hendak mengalah. Guru pun masuk. Kali ini adalah Pak Marisi . Seorang guru yang mengajar Teknologi Informasi dan Komputer. Entah apa yang membuat guru ini seolah ditakuti oleh siswa. Ya, ketegasannya sering membuat siswa yang bermasalah menjadi anti bahkan hampir seluruh murid tidak mau berurusan dengan guru yang satu ini. Sebenarnya kenyataannya tidak separah itu. Dengan raut wajah yang mendukung, membuat seoalah-olah semuanya membuat itu menjadi kenyataan yang sangat menakutkan.
Kejadian yang awalnya hanya setitik kini sudah berkembangbiak seperti virus yang dengan cepatnya menyerang seseorang. Persahabatan yang dulunya sangat manis, manis seperti madu yang banyak digelumuti lebah. Namun kini, menjadi sangat runyam, kacau disana-sini seperti riuhnya gelora
by: Lily
0 komentar:
Posting Komentar